Ilustrasi letusan mahadasyat Gunung Tambora, 10-11 April 1815, 200 tahun yang lalu. [1] |
Gunung Tambora berada di sisi barat daya Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Terletak di antara dua kabupaten, yakni Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
National Geographic Indonesia melakukan penjelajahan bertajuk "200 Tahun Gelegar Tambora" pada pertengahan Februari lalu. Tim ini terdiri atas Mahandis Yoanata (teks editor), Firman Firdaus (editor), Warsono (kartografer), dan Dwi Oblo (fotografer) menjelajahi sisi alam dan budaya gunung yang pernah menyandang gunung api tertinggi di Asia Tenggara.
"Tidak banyak yang tahu bahwa dulunya, tanah yang ditinggali penduduk Tambora merupakan wilayah salah satu kerajaan besar di Nusantara."
Gunung Tambora, menurut penelitian para ahli arkeologi dan ahli geologi, memiliki letusan terdahsyat dalam sejarah ingatan manusia. Gelegar megakolosal gunung itu mendera Bumi pada 10-11 April 1815, menewaskan sedikitnya 71.000 orang yang tinggal di kawasan sekitar gunung tersebut, termasuk Pulau Lombok dan Bali. Sebuah kaldera tercipta dengan garis tengah sekitar enam kilometer.
Jalan yang terputus seperti ini kerap dijumpai oleh tim penjelajahan "200 Tahun Gelegar Tambora" di pesisir utara Pulau Sumbawa. (Dwi Oblo) |
Selama beberapa tahun ke depan sejak letusan mahadahsyat tersebut, tidak ada satupun kehidupan yang tersisa. Permukaan daratan tertutup oleh selimut abu vulkanik, menyisakan hanya bebatuan dan tanah yang gersang. Sementara keanehan iklim mendera kawasan Eropa dan Amerika Utara: hilangnya musim panas pada 1816.
Setelah beberapa puluh tahun, tanah yang diselimuti abu vulkanik itu kemudian ditumbuhi vegetasi subur, menjadikannya lahan yang baik untuk bercocok tanam.
Sekitar seratus tahun usai letusan, para pendatang baru menempati tanah Tambora. Sehamparan kebun kopi milik warga Belanda menjadi tengara peradaban baru di Tambora. Kini, tanaman kopi yang tumbuh subur sebagai salah satu sumber mata pencaharian bagi warga sekitar. Para warga Tambora masa kini datang dari daerah di Sumbawa sendiri, Lombok, Flores, hingga Jawa.
"Mereka baru mengetahui fakta adanya kerajaan Tambora bertahun-tahun sejak mereka menempati tanah tersebut," jelas Mahandis. "Setelah para ilmuwan melakukan pencarian jejak pada wilayah yang diduga merupakan situs arkeolgi permukiman Tambora, barulah penduduk setempat mengerti tentang keberadaan Kerajaan Tambora."
Terdapat dua kerajaan yang menghimpun kekuasaan di pinggang gunung ini: Tambora dan Pekat. Keduanya lenyap bersama seluruh warganya karena diterjang murka Tambora pada April 1815. Pada 1980-an, dan hingga kini, warga setempat kerap menemukan harta dan perabotan yang terserak dari sebuah perkampungan masa silam.
Dalam perjalanan menuju Tambora, tim ekspedisi juga menyambangi situs arkeologi bersimbol Siwa dan Buddha di wilayah pesisir utara Kabupaten Bima. Situs Wadu Pa'a, atau Batu Pahat, sebuah pesan arif dari leluhur yang mengajarkan kerukunan kepada kita dan semesta.
Melintasi sabana, seekor kijang terekam saat tim penjelajahan (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia) |
Sumber: NGI | Difa Restiasari
Keterangan:
[1] Foto ilustrasi letusan Tambora
Hujan deras mendera sebuah permukiman di pinggang Tambora, sesaat sebelum gunung itu bererupsi dahsyat. Lalu, hujan abu dan gemuruh mulai meneror warga untuk segera mengungsi. Malangnya, luncuran awan panas telah menerjang permukiman sebelum semua warga meninggalkan desa, mungkin kala erupsi megakolosal pada 10 April 1815. Selama beberapa tahun terakhir, ahli arkeologi berhasil mengidentifikasi kembali repihan permukiman itu: Deretan rumah berpanggung nan bersahaja, beratap ijuk dan berdinding anyaman bambu. (Sandy Solihin) Sumber: NGI
Comments
Post a Comment