Foto yang menampilkan 2 ekor Yaki (Macaca Nigra) dan satwa lain hasil buruan yang sudah mati. Sumber: Facebook |
Tak patut dicontoh #KamiMaluMner #ShamebyYouMner
Keprihatinan kembali dilontarkan pemerhati lingkungan dan konservasi di Sulawesi Utara. Masih segar kasus pemilik akun Facebook yang diduga merupakan anggota polisi hutan ketika mengunggah foto saat menyembelih Yaki (monyet hitam Sulawesi | Macaca Nigra), kini sebuah akun Facebook yang menurut informasi diduga adalah milik seorang dosen di Fakultas Hukum UNSRAT menampilkan foto dirinya dan 2 ekor Yaki hasil buruannya lengkap dengan senapan berburu.
Kondisi ini jelas merisaukan, karena hewan yang terancam punah tersebut merupakan satwa yang dilindunggi di Indonesia sesuai Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999. Dan lebih miris lagi adalah terduga pelaku merupakan seorang Dosen Fakultas Hukum di sebuah universitas kebanggaan di Sulawesi Utara, yang seharusnya memberikan contoh yang baik bagaimana menerapkan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah seperti disebutkan diatas untuk melindungi satwa endemik tersebut.
Postingan dinding salah satu akun yang mempertanyakan kejadian tersebut. Sumber: Facebook |
Foto ini tercatat diunggah ke Facebook pada tanggal 19 Desember 2014. Sumber: Facebook |
Foto tersebut dishare di Fanpage/Halaman Manado tertanggal 22 Desember 2014. Foto: Facebook |
Foto tersebut dishare di Fanpage/Halaman Ibu Kota Manado tertanggal 23 Desember 2014. Foto: Facebook |
Kejadian ini menuai banyak komentar miring mengenai apa yang ditampilkan dalam foto yang tercatat diunggah ke jejaring sosial Facebook pada tanggal 19 Desember 2014 (pukul 11.18).
Berikut adalah link/tautan akun tersebut KLIK DISINI
Sekilas...
"Monyet-monyet bagai bayi Balita itu dibantai untuk kepuasan perut" | Simomot.com
Daging yaki siap dimasak untuk konsusmi. Foto dari Facebook PPST via Mangobay Indonesia. |
Tangan-tangan yang hangus seperti tangan Balita itu meregang keluar dari ember yang berisi potongan-potongan daging tubuhnya yang berwarna merah. Itulah nasib seekor monyet hitam sulawesi atau yaki (Macaca nigra) di tangan pemburu yang membantainya. Keberadaan primata yang secara fisiologis, genetik, bahkan anatomi memiliki kedekatan dengan manusia itu memang semakin lama semakin menipis karena diburu untuk bahan utama kulinari alias pengisi perut.
Aktivitas perburuan dan perdagangan monyet ini telah menyusutkan secara cepat populasi Yaki hingga 80 % dalam tiga puluh tahun terakhir. Harry Hilser, Field Project Manager Yayasan Selamatkan Yaki, pada medio 2013 sebagaimana ditulis Mongabay Indonesia (mangobay.co.id), mengatakan fenomena ini menempatkan Yaki pada kategori hampir punah. Padahal, sebaran Macaca di seluruh dunia hanya berkisar 23 jenis, yang 7 jenis di antaranya berada di Pulau Sulawesi, sementara Macaca Nigra hanya bisa ditemukan di Sulawesi Utara.
Saroyo, pakar primatologi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), seperti dilansir Mangobay Indonesia, menyodorkan sejumlah referensi untuk menunjukkan penurunan jumlah populasi yaki yang merupakan salah satu hewan atau binatang endemis Indonesia di Cagar Alam Tangkoko, dalam tiga puluh tahun terakhir. Pada tahun 1978 densitas di Cagar Alam Tangkoko 300 ekor/km2. Sepuluh tahun kemudian, 1987-1988, populasi Yaki menurun drastis atau hanya tersisa 76,2 ekor/km2, dan pada tahun 1999 densitas di Cagar Alam Tangkoko tinggal 58,0 ekor/km2.
Padahal, menurut Saroyo, pemburu, pedagang dan konsumen berpotensi tertular penyakit yang diidap yaki. Karena, banyak mikro organisme berbahaya, terutama virus, bisa menular dari primata ke manusia.
Berdasarkan sejumlah penelitian, secara fisiologis, genetik, bahkan anatomi manusia dan primata memiliki kedekatan, yang dapat menyebabkan potensi mengidap penyakit yang sama. “Jadi, virus, bakteri bahkan cacing bisa berintertransimisi dari primata ke manusia, atau sebaliknya.”
Misalnya, ditambahkannya, penyakit yang berpotensi tertular adalah polio, hepatitis, rabies dan simian retrovirus. Sebab, bakteri yang diidap primata bisa ditularkan lewat udara. Sementara, virus bisa ditularkan lewat kontak langsung, seperti gigitan.
Kemudian, beberapa penyakit juga bisa ditularkan lewat kotoran satwa (feses), terutama infeksi cacing. Saroyo mengaku, pernah melakukan survei dan menemukan bahwa hampir semua kotoran primata yang diplihara menyimpan cacing gelang serta cacing tambang. “Sangat tidak disarankan memelihara satwa primata karena memelihara satwa jenis ini turut memelihara penyakit.”
Tingkah lucu bayi Yaki (Macaca Nigra).Foto: selamatkanyaki.com|Helen Sampson |
Proses penularan penyakit dari primata ke manusia, dijelaskannya, bisa tersalur lewat cacing dalam kotoran primata. Biasanya, cacing keluar di kotoran dalam bentuk telur atau larva. Orang yang terinfeksi cacing itu akan menderita penyakit yang spesifik, seperti TBC atau Hepatitis.
Proses penularan penyakit itu bisa lewat makanan manusia yang dibuang dan dikonsumsi monyet. Dalam kasus ini, primata berpotensi tertular penyakit yang lebih dulu diidap manusia.
Kemudian, kebiasaan masyarakat di seputaran kawasan konservasi yang membuang kotoran di sungai turut menjadi salah satu faktor tertularnya penyakit. Yaki, yang secara tidak sengaja meminum air sungai, dapat terinfeksi penyakit yang diidap manusia.
Sedangkan, untuk pedagang dan pemburu, masih menurut Saroyo, penularan penyakit lebih rentan lewat cairan tubuh. Bisa lewat darah, air liur dan air kencingnya, tergantung siklus hidup parasit. Sementara, konsumen bisa tertular lewat cara masak yang tidak sempurna.
Selamatkan monyet hitam, Forum F21 menggelar aksi moral bertajuk 'Malo makang Yaki (malu makan Yaki)' di kawasan Terminal Karombasan Manado, Sulawesi Utara, Selasa (5/8). Foto: Merdeka.com |
Pencegahan perburuan
Peraturan di negara ini telah mengamanatkan perlindungan terhadap satwa liar yang terancam eksistensinya, seperti yang tercantum dalam UU nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Namun, pada kenyataannya, peraturan tadi tidak bisa menghentikan perdagangan satwa liar di Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan, belum optimalnya tingkat pemahaman masyarakat mengenai pentingnya eksistensi satwa liar.
Selain itu, faktor tradisi membuat praktik perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa liar dilindungi terus berlangsung. Ia menilai, perburuan, perdagangan dan konsumsi satwa bersifat kultural dan manusiawi. Sementara persoalan perlindungan satwa itu bersifat legal-formal.
“Pada dasarnya, manusia akan memikirkan persoalan-persoalan normatif bila kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi. Di sini kendalanya, peraturan formal negara hanya berlaku jika bisa diterima secara kultural,” kata Nono Nono Sumampow, staff pengajar Antropologi Budaya di Unsrat.
Namun, bukan mustahil upaya melestarikan satwa terancam. Diperlukan modifikasi kultural. Artinya, menurut dia, manusia punya cara sendiri beradaptasi ketika memperoleh informasi yang memadai.
Sekecil apapun, semoga tulisan ini menjadi salah satu upaya bagi penyadaran bersama masyarakat Indonesia, tentang perlunya kelestarian alam, termasuk satwa liar di dalamnya.
Dukungan SLANK untuk kampanye Selamatkan Yaki. #Selamatkanyaki adalah kampanye untuk menyelamatkan hewan Yaki (macaca nigra) primata asli Sulawesi Utara dari kepunahan. Foto: google|iniopa.com |
Satwa ini dilindungi berdasarkan:
Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa
Tentang : Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Comments
Post a Comment