Skip to main content

Jelajah Sumedang Bagian 3: Mata Air Cikandung dan Waduk Jatigede



Mata Air Cikandung
Setelah dari Curug Gorobog tujuan kami selanjutnya adalah Mata Air Cikandung. Karena ke mata air ini berlawanan arah dengan Curug Garobog jadi kami harus kembali lagi ke arah penginapan/kota. Dari Curug Gorobog berjarak sekitar 20km atau sekitar 10km dari pusat kota. Untuk ke sini kami mengandalkan Google Maps dengan kata kunci ‘Mata Air Cikandung’. Dari perempatan (Bundaran Alam Sari Sumedang) ambil kiri (kalo ke kanan ke Wado). Terus ke kiri nanti masuk ke Jalan Cikandung, ini adalah jalan desa dan kondisi jalannya rata dan tidak naik turun bukit.

Menyusuri Jalan Cikandung nanti terlihat papan petunjuk kayu kecil letak Mata Air Cikandung, masuk ke dalam sekitar 100m berupa jalan tanah nanti kita akan sampai di parkiran mata air, di depan deretan warung. Karena bulan puasa, semua warung tutup, hanya ada beberapa orang yang jaga parkir. Di sini tidak ada tiket masuk hanya bayar parkir dan itupun gak ada tarifnya. Di parkiran ini juga kita sudah berada di pinggir kolam Mata Air Cikandung.
Gang masuk ke mata air
Suasana di sekitar mata air
Kolam ini mempunyai kolam alami, berada di pinggir bukit dengan pohon-pohon besar. Di kelilingi oleh sawah menambah asrinya lingkungan di sini. Di pinggir kolam terdapat batu-batu besar yang kadang-kadang digunakan oleh anak-anak untuk loncat (orang dewasa jangan loncat karena dangkal). Kolam ini sangat bening bak kristal sehingga kita bisa melihat sampai ke dasar kolam dan mempunyai kedalaman maksimal sedada orang dewasa (1.5m). dasar kolam di penuhi batu-batu kerikil berwarna hitam, abu-abu dan kecoklatan, tidak terdapat tanah dan lumpur sehingga walaupun kita berenang tidak akan membuat keruh air kolam. Mata air ini menjadi hulu sungai yang lumayan lebar dan menjadi sumber pengairan warga. Mata air ini juga menjadi sumber air minum warga, ini terlihat dari adanya saluran pipa yang masuk ke sela-sela bebatuan (sumber mata air) jadi tidak langsung ke dalam kolam.
Jernihnya kolam Mata Air Cikandung
Bermain air
Bermain air
Karena memang sudah berniat untuk berenang di sini, kami pun masuk ke kolam, barang bawaan cukup ditaruh di atas bebatuan di pinggir kolam. Begitu masuk, terasa airnya begitu dingin dan perlu waktu untuk membiasakan tubuh. Kebetulan kami membawa kamera bawah air jadi bisa dipakai ketika menyelam hahahah. Saking jernihnya air di sini, foto kita seolah-olah bukan di dalam air. Di kolam ini ternyata ada juga ikan asli/endemik sini, berupa ikan kecil-kecil berwarna emas.
Pemandangan bawah air
Pemandangan bawah air
Di atas kolam juga terdapat jembatan kayu yang pas untuk berjalan 1 orang. Di sini kita bisa berfoto-foto dengan latar persawahan. Jembatan kecil ini juga dipakai oleh anak-anak lokal untuk ke seberang dan bermain di aliran sungai. Nah untuk yang bawa anak-anak balita di sini juga disediakan penyewaan ban. Hanya saja karena ini adalah sumber air masyarakat dan merupakan hulu sungai jadi sebaiknya jangan mandi menggunakan sabun dan sampo yang mengandung zat-zat kimia, karena saya lihat beberapa anak lokal mandi menggunakan sampo dan kadang-kadang terlihat satu dua sampah sampo bertebaran.
Bermain di jembatan

Bermain di jembatan
Berat sekali rasanya meninggalkan lokasi kolam ini karena suasananya yang sangat asri, air bersih dan dikelilingi oleh persawahan. Selanjutnya kami kembali ke penginapan untuk beristirahat sebentar untuk melanjutkan ke destinasi berikutnya yaitu Waduk jatigede.
Waduk Jatigede
Lagi-lagi ke destinasi ini kami mengandalkan Google Maps. Berlawanan arah dengan tujuan sebelumnya, jalur ini mengikuti lingkar Sumedang-Wado. Memasuki jalan desa yang tidak terlalu bagus, melewati perbukitan dan sempat melintasi jalur tol baru, tol Cisumdawu. Jalan desa yang kecil dan jelek ini sempat membuat saya hampir tabrakan dengan sepeda motor dari depan. Sampai di suatu jalan masuk yang cuman cukup untuk satu mobil ternyata kami mengikuti titik di Maps “Puncak Damar Waduk Jatigede” dan balik kembali karena tujuan awal adalah ke gerbang waduk.
Jalan kecil memasuki hutan
Jalan berbatu keluar dari hutan
Mengikuti petunjuk penduduk lokal, kami memasuki portal yang pas buat satu mobil (titik koordinat ini tidak ada di Maps). Melewati portal kami memasuki wilayah hutan yang lumayan gelap dan jalannya pas untuk satu mobil (berharap tidak ada mobil dari depan). Kondisi jalan menurun dan di kanan berupa lembah yang mengingatkan saya perjalanan ke Kilometer 0  di Sabang. Keluar dari portal sampailah kami di area terbuka dengan jalan berbatu-batu. Ambil jalur kiri ke arah Waduk. Karena jalannya berupa bebatuan dan banyak lobang membuat city car jalannya tersendat karena sesekali kena batu base nya hahahha. Jalan beberapa ratus meter kami berencana putar balik hingga bertemu pemotor yang merupakan pegawai waduk dan menginfokan untuk ke arah depan waduk tidak bisa menggunakan mobil yang kami bawa dan kami di arah kan ke Tanjung Duriat untuk melihat panorama waduk.
Memasuki portal tanpa penjaga


Tanjung Duriat
Lurus sekitar beberapa ratus meter ketemu pertigaan, kami ambil kanan ke arah Tanjung Duriat, meskipun jalannya masih berbatu-batu tapi di sini adak mendingan. Sampai di portal tidak terlihat satupun penjaga di sini. Melewati portal kemudian sampailah kami di landmark Tanjung Duriat. Di sini kami parkir di sebuah gazebo di depan landmark. Dari landmark ini kita sudah melihat jelas Waduk Jatigede dari ketinggian.
Perlu dicatat bahwa waduk ini adalah waduk kedua terbesar di Indonesia. Meskipun sudah direncanakan dari jaman Belanda tapi baru terealisasi tahun 2008 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diresmikan tahun 2­­015 di era Presiden Jokowi. Waduk ini  dibuat dengan membendung aliran Sungai Cimanuk dan menenggelamkan 28 desa. Jadi kalau kita datang di musim kemarau maka akan terlihat bekas reruntuhan desa-desa ini. Waduk ini digunakan untuk mengairi sawah-sawah di Majalengka, Indramayu dan Cirebon dan juga digunakan buat PLTA.

Dari landmark kita bisa melihat puncak-puncak bukit yang menjadi pulau akibat genangan. Di bawah terdapat tanjung kecil yang digunakan untuk wisata perahu kelliling waduk. Mungkin kalau tidak tahu sejarah waduk ini kita akan mengira bahwa ini adalah danau alami. Hari semakin sore dan awan gelap juga semakin mendung. Memberanikan diri, saya melepas drone untuk melihat pemandangan waduk dari atas. Terlihat pintu air dan dam di kejauhan dan aliran sungai yang dikontrol lewat pintu air. Terdapat juga bukit yang menjorok ke waduk dimana terdapat tulisan besar Waduk Jatigede, mungkin kalau masih pagi kami bisa bermain di sana.
Waduk Jatigede dari atas
Waduk Jatigede dari atas
Di bukit sebelah kanan terdapat rumah pohon dan jembatan gantung yang tidak terlalu panjang buat disediakan untuk spot selfie. Hanya saja tidak ada petugas yang berjaga di sini. Dari spot ketinggian ini kita bisa mengambil foto dengan latar belakang danau. Karena cuaca sudah gelap karena mendung dan juga semakin sore kami segera kembali ke penginapan dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan besok pagi.



Baca juga link terkait:
- Danau Biru Situ Cilembang
- Curug Gorobog
- Curug Sindulang/Curug Cidulang

Comments

Popular posts from this blog

7 Gunung Berapi Tertinggi di Indonesia

Ada begitu banyak gunung berapi yang bisa kita jumpai di Indonesia. Gunung berapi yang jumlahnya berlimpah itu terbentuk akibat zona subduksi antara lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia. Nah, berikut adalah tujuh gunung berapi tertinggi di Indonesia, menurut data yang dilansir Wikipedia. Mari kita simak bersama! 1. Gunung Kerinci Gunung Kerinci,  3.805 meter. Gunung berapi tertinggi di Indonesia ini juga dikenal sebagai Gunung Gadang dan Puncak Indrapura. Gunung Kerinci memiliki ketinggian mencapai 3.805 meter dan terletak di Provinsi Sumatera Barat dan Jambi, sekitar 130 km sebelah selatan Padang. Uniknya lagi, gunung berbentuk stratovulkan ini mempunyai kawah seluas 400x120 meter yang berisi air berwarna hijau. 2. Gunung Rinjani Gunung Rinjani,  3.726 mdpl. Gunung Rinjani adalah gunung yang berlokasi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung yang merupakan gunung berapi kedua tertinggi di Indonesia dengan ketinggian 3.726 mdpl serta terletak pada lintang 8º25' LS da...

Eksplor Solok Selatan Bagian 4: Kebun Teh Alahan Panjang, Mesjid Tuo Kayu Jao dan Danau Di Ateh (Danau Kembar)

Melanjutkan perjalanan dari Sangir dimana kami menghabiskan waktu berenang di Air Pauh Duo dan mengunjungi Nagari Saribu RumahGadang selanjutnya kami menuju Alahan Panjang untuk menginap di Danau Di Ateh (Danau Di Atas). Karena tergoda dengan promosi wisata di sini yang memperlihatkan penginapan di pinggir danau yang bergaya ala-ala Eropa. Sampai di Danau Di Ateh sudah sore. Memasuki Kawasan wisata kami harus membayar sekitar Rp. 25.000 per orang (dewasa). Dan sepertinya di dalam Kawasan wisata sedang ada bazaar sehingga terlihat sangat berantakan dan sampah berserakan di mana-mana. Singkat cerita kami menyewa 2 villa dengan harga Rp. 500.000 dan Rp. 300.000 yang dibayar via petugas yang   bersih-bersih villa (karena menurut beliau pembayarannya lewat mereka, dan saya juga bingung karena memang tidak tahu harus bayar dimanan, LOL). Dan sumpah, inilah penginapan yang tidak terurus, mesti terlihat bagus tapi didalamnya sangat kotor mulai dari karpet, korden, dinding etc. Tidak ada ...

Cagar Biosfer Indonesia (Biosphere Reserves of Indonesia)

Peta Kawasan Konservasi Indonesia Cagar Biosfer Indonesia (Biosphere Reserves of Indonesia) adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program MAB-UNESCO (Man and The Biosphere Programme - United Nations Education Social and Cultural Organization) untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Sebagai kawasan yang menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan, melalui kemitraan antara manusia dan alam. Biosphere reserves are sites recognized under UNESCO's Man and the Biosphere Programme, which innovate and demonstrate approaches to conservation and sustainable development. They are of course under national sovereign jurisdiction, yet share their experience and ideas nationally, regionally and internationally within the World Network of Biosphere Reserves. There are 551 sites world...