Pertobatan Ekologi, demikian judul Editorial Metro TV pagi ini.Kontur kota Manado yang unik pun menjadi salah satu pokok bahasan. daerah perbukitan, diapit oleh beberapa gunung, sangat dekat dengan pantai, berdampingan dengan Filipina yg sering bercuaca buruk, menjadi karakter kota manado yang kucintai.
Pembangunan di daerah yang berkarakter unik seperti ini seharusnya BENAR-BENAR MEMPERHATIKAN ANALISIS LINGKUNGAN!! Penanganan pembangunan harus dipikirkan secara detail DAMPAKNYA TERHADAP LINGKUNGAN. Bukankah tujuan pembangunan adalah untuk membuat manusia lebih sejahtera?
Mencoba menganalisis penyebab kejadian banjir bandang kemarin?
Hujan deras selama beberapa hari disertai angin dan badai,menjadi penyebab utama banjir. Apakah baru kali ini hujan lebat berhari-hari terjadi di manado? Tidak, dulu-dulu juga sudah seperti ini. Tapi kenapa baru sekarang banjir besar itu terjadi? Karena daerah serapan makin berkurang. Saya mencoba melakukan pengamatan
Pengamatan pertama dari lingkungan saya tinggal, kompleks Balitka Kaiwatu-Kairagi Dua Manado, GMIM Kinamang dulunya hanya 4 kolom sekarang jadi 8 kolom, 2 x lipat naiknya, daerah-daerah yang dulunya ditanami kelapa, pala, tome-tome, namu-namu dan beberapa pohon lainnya *dulu ketika anak-anak, saya sering bersepeda bersama teman di daerah2 ini*, sekarang berubah menjadi perumahan, tercatat ada 3 perumahan baru di seputaran kompleks saya, itu sebabnya anggota jemaat jadi bertambah 2 kali lipat, ini baru dikompleks saya. Kalo mau ke arah bandara, wuihhhh lebih banyak lagi areal perumahannya, karena mungkin menurut tata kota, kompleks kairagi-mapanget ditata menjadi daerah pemukiman. Daerah serapan berubah fungsi jadi pemukiman.
Pengamatan kedua, diseputaran jembatan kairagi sampe di GMIM Solagratia, dulu daerah ini dikelilingi bukit berpohon kelapa, kita dulu pang bajalan kaki, dalam hati berkata samua wilayah manado timur 3 ini kita so jelajahi, kurang itu bukit2 kita pe kaki belum injak, namun sekarang tidak ada lagi pohon dan tidak ada lagi bukit, yang ada tanah rata yg tandus, yang diatasnya berdiri ruko-ruko. *Dan dalam hati berkata kelak jika ku pulang akan ku jelajahi bukit rata ini.
Pengamatan ketiga di daerah ringroad, bagus sih ada ringroad, membuat lebih singkat jalan pulkam Langowan, biasanya musti mutar dulu lewat paal2- ranotana-winangun, sekarang kairagi-maumbi-pineleng, tambah singkat, lebih sejahtera. Tapi kenapa juga lahan-lahan di kiri kanan ringroad, tanamannya di tebang, bukit diratakan, dan didirikan bangunan megah: a). kompleks ruko *sempat timbul pertanyaan, ada nda e org babeli di situ?*, b). perumahan citraland yg perumahan org berduit di kota ini *biar le tinggal di kompleks elit mar kalo tampa banjer sudah jho, *sirik tanda tak mampu **
Saya rasa dengan 3 pengamatan di atas cukup memberi jawaban penyebab banjir bandang terjadi. Banyak status di jejaring sosial menulis, banjir ini akibat dosa manusia, kota so sama dengan sodom dan gomora, makanya Tuhan menghukum kota ini. Tapi ada yg membantah dan menulis ini bukan masalah dosa kasiang, ini hanya masalah debit air yg berlebih dan tidak ada tempat menampung air.
Menurut saya kalaupun tidak mau disebut akibat dosa, mari kita perhalus kalimatnya dengan menyebutnya akibat salah manusia, memang bukan hukuman dari TUHAN tapi di sini HUKUM ALAM berlaku, ketika ekosistem diganggu dia pun akan bereaksi. Merusak ekosistem selama 4 tahun, dan ekosistem itu segera bereaksi hanya dengan 1 jam hujan deras, banjir bandang langsung datang dan memakan korban manusia. Sebuah harga mahal yang harus dibayar penduduk kota ini, hanya untuk memenuhi ambisi petinggi daerah menjadikan Manado Kota Bisnis di bibir pasifik, demikian kata dosen Ekologi Dasar saya. Tapi adakah yg salah dengan ambisi pemerintah kita? Saya pikir tidak ada yg salah, tapi cara memenuhi ambisi itu belum tepat, ada langkah yang belum diperhatikan dengan baik, Analisis Dampak Lingkungan.
Sebagai penduduk kota Manado, saatnya kita melakukan PERTOBATAN EKOLOGI. Fakultas pertanian Unsrat, Mahasiswa pencinta alam, WALHI, mungkin kita harus lebih vokal lagi, bersuara lebih keras lagi,menjadi alat kontrol bagi pengemban pembangunan, untuk menjaga ekosistem kota ini.
Sumber: Kompasiana | oleh: Mercy Taroreh | 16 Januari 2014
Comments
Post a Comment